Monday 14 August 2017

Teruntuk Perempuan yang Melepas Harapan


Kepadamu, perempuan dalam kebisuan soal rasa. Yang tak alpa memangku harap di sela napasmu. Tentang sosok yang pernah rutin kau aminkan sebagai masa depan. Lalu, seperih apa rasanya, kala Tuhan menolak skenario yang kau inginkan? 
Aku tak pernah berada di titik luka seperti yang sedang kau rasakan, tapi ketahuilah teman, kita satu hati sebagai makhluk yang dicipta slalu menomorsatukan perasaan dibanding logika. 
Kita tak bisa mendesain harapan agar segaris dengan kenyataan, namun kita selalu bisa mencoba sedikit mereduksi rasa sakit jika kecewa menyapa, lalu pelan-pelan merelakan apa-apa yang sudah tak mungkin tuk kita genggam.
Beberapa bulan lalu, aku ikut merasakan kebahagiaanmu. Kau berkabar bahwa pertemuan yang tak kau sangka-sangka ternyata menjadi awal yang baik sekaligus waktu paling tepat memiliki cerita baru dengan mengenalnya sebagai definisi lain dari harapan

Kini waktunya mengenang, cukup di beberapa saat pada bagian-bagian paling indah yang kemudian malah merekahkan luka. Pada percakapan-percakapan yang slalu menawarkan kenyamanan selepas jumpa pertama, saat kau mulai larut dalam asa yang entah sejak kapan mulai bertumbuh. Tak ada yang bisa menghentikan laju harap yang terlanjur memilihnya menjadi tuan atas perasaan, juga alamat rindumu. Tanpa ia ketahui, kau menyematkannya dalam semoga-semoga kepada Maha pengamin doa manusia.

Kala itu kau berada di titik sadar tentang rasa yang tak mampu memilih tuannya. Dan kau pun menyerah sebab tak sanggup menepis tiap harap yang bersarang di hatimu. Perihal ia yang menjadi cerita penuh makna. Ia yang paling lihai membuat bunga-bunga bermekaran juga menerbangkan angan jauh ke imaji tentang masa depan berisi namanya. Satu hal yang kau abaikan karena terlanjur sibuk merancang bahagia impianmu, bahwa ada fakta yang tak bisa ditawar: Tuhan selalu menampakkan ke-Maha rahasiaan-Nya tentang takdir berupa kenyataan yang selalu bertabrakan dengan ekspekatsi manusia.

Perlahan kau layu dalam kepiluan yang menancap sembilu di hatimu. Tentang kenyataan yang tanpa aba-aba menyeretmu dalam genangan luka. Kau tahu, bahwa kau memerankan rasa tidak sendirian. Ia juga mengiyakan tuk kata saling untuk sebuah rasa di antara kalian. Dengan cara paling bijak ia utarakan keresahannya: Jarak yang mesti ia bentangkan, sebab tak ingin kalian terperangkap dalam ruang ketiadakpastian soal masa depan yang masih abu-abu. Kau memahami dalam kecewa bercampur bahagia karena kau tahu betul bahwa ia lelaki baik yang sungguh bijak menyikapi rasanya. Ia memilih menjauh dan menghindarimu dengan yakin yang ia rawat bahwa "jika benar kau masa depannya, Tuhan pasti akan menyatukan" bukan kah itu setepat-tepat pilihan meski mengandung perih? Ya, kau menyetujui sembari mencoba tak melibatkan perasan dengan menerima, lalu perlahan menata harap dan sibuk pura-pura melupakan. 

...

Sepandai-pandainya perempuan menyimpan perih, tetap saja ia harus mengurangi rasa sakit dengan membagi cerita kepada seseorang yang semoga mampu memahami, meski tak pernah betul-betul merasakan. Yah, kau memilihku tuk menampung kisahmu. Aku tidak menolak tapi malah ikut terbawa rasa perih, seolah aku berada di posisi paling pelikmu ini. Aku dengan kesoktahuan mencoba menjadi pendengar sambil berusaha menguatkan dengan kata-kata kubuat sebijak mungkin meski kutahu, bahwa itu takkan bisa menenggelamkan kepiluanmu. Setidaknya aku mengupayakan agar kau bisa bangkit dari jatuh yang menyakitkan, lalu kembali menata hatimu.

Sebab tiap cerita adalah skenario terbaik yang ditulis Tuhan. Manusia saja yang kadang bebal memahami bagian terbaiknya, atau mungkin saja hikmahnya masih tersamarkan. Dan aku tak ingin kau menjadi salah satu orang yang mengutuk takdir. Aku berharap kau perempuan kuat yang mampu melepaskan harapan dengan ketulusan dan keikhlasan. 

Kau sedih, kecewa dengan tangis yang kadang tak mampu kau cegah kembali merapuhkan hatimu. Lewat huruf-huruf dan tiap baris kalimat yang kau kirim ke ponselku, aku membaca semuanya. Tentang memilih tetap bahagia dengan melepaskan. Bahwa terkadang, kita hanya mampu meluruskan kembali niat tentang mencintai dengan kalimat kerelaan: Tak sesiapun mampu melawan Maha kuasa-Nya perihal takdir. Termasuk soal jodoh. Kita mungkin tak berjodoh dengan sosok tempat menambatkan harap skaligus yang kita cintai dengan segenap semoga tentang masa depan, namun cobalah menjadi bijak dengan menerima siapapun yang akan bersanding denganmu sebagai penggenap yang diputuskan Tuhan sebagai teman hidupmu, kelak.

...

Kejutan yang tak kau sangka datang membawa kabar bahagia bahwa seluruh ketidakpastian segera menjadi kepastian. Soal rasamu yang masih belum berpaling darinya, ternyata harus segera kau tamatkan. Ada sosok baru, yang tetiba masuk dalam kisah kalian. Ia berniat baik tuk segera menggenapkanmu. Kau yang diliputi keraguan dan keresahan tak terdefinisi mengabarkanku, bagaimana jika aku di posisimu. Aku lantas menjawab dengan (lagi-lagi) kesoktahuan juga sok bijak: Relakan ia cukup sebatas kisah indah yang mengandung begitu banyak hikmah sebelum akhirnya kau bertemu kepastian. Yakini bahwa Tuhan paling tahu mana yang terbaik untukmu. Sampaikan kabar bahagia ini kepadanya, ia laki-laki baik yang tentu akan menerima jika ternyata kalian tak diciptakan tuk menjadi sepasang.  

Kau menunggu saat paling tepat hingga keberanian akhirnya membuatmu betul-betul menyampaikan rencana yang sudah ada tanggalnya, kapan kau melepas kesendirianmu selama ini. Dan yaa, seperti dugaanku sebelumnya, memang selalu dewasa dalam menyikapi segala hal, tentu ikut merasa bahagia mendengarnya (meski dibalik kata-kata paling bijaknya terselip tetap kubaca ada kecewa yang dibungkus dalam penerimaan dan kesyukurannya bahwa kau akan menggenap, walaupun bukan ia pemeran sosok yang nanti bersanding denganmu). Kau lega juga kecewa merasa ia tak begitu terpukul atau apapun imajinasimu jika ia mendengar kabar ini. Kukatakan begini: Lelaki selalu paling pandai soal pura-pura. Sangat mumpuni terlihat baik-baik saja meski di dalam dadanya ada badai yang meretakkan hatinya. Mereka berbeda dengan perempuan dalam menyikapi rasa. Selalu saja logika membuatnya menang melawan luka juga harap yang tak berjodoh kenyataan. Ketahuilah, ia pasti memiliki kesedihannya sendiri, entah seberapa banyak porsinya. Mereka slalu memiliki sisi paling absurd yang tak mampu kita baca selain dengan spekulasi-spekulasi yang kita ciptakan sebagai peretak ataupun pendukung harapan.

Semoga kau tetap kuat berdiri di atas kenyataanmu ini. Aku yakin, kau lebih dari kuat tuk memikul beban rasa yang sempat melukaimu. Bersikaplah seoalah kau bahagia karena stelah keikhlasan melepaskan kau akan temukan bahagia yang tak lagi sekedar sandiwara dalam balutan senyum. Memang bukan ia orangnya, tapi siapa yang tahu, soal masa depan? Aku hanya meramalkan bahwa selepas akad nanti, (semoga aku hadir menyaksikan proses sakralmu) kau adalah perempuan paling bahagia yang tumbuh dari kisah masa lalumu, tentang pelajaran-pelajaran yang dikemas dalam kesedihan, bahagia, kecewa, kerapuhan juga warna-warna lain perasaan. 

"Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." Firman Tuhan dalam Kitab-Nya semoga mampu meneguhkan hatimu, Resapi ayat ini, maka kau akan menemukan keikhlasan tentang melepaskan...


*(Untuk seorang perempuan yang sedang menata hati, ini catatan kedua untukmu. Setahun lalu aku pernah menulis tentang pertanyaan perihal menggenap. Coba baca kembali di sini (Setahun lalu)

--Makassar, 14 Agustus 2017